Tuesday, November 13, 2007

The Ataris

The AtarisAnderson, Indiana, adalah tempat dimana mereka bermula. Tahun 1995, Kristopher Roe dan Jasin Thomason memulai cikal bakal The Ataris dengan mencoba merekam beberapa materi di kamar Kris, dengan dibantu isian drum machine, karena memang mereka belum punya seorang drummer. Warren Fitzgerald adalah orang yang membawa mereka ke dalam industri musik dunia. Lewat tangan gitaris The Vandals ini-lah mereka berhasil menandatangani kontrak dengan Kungfu Record dan merilis album perdana mereka Anywhere but Here tahun 1997.Saat itulah Derrick Plourde (drum) dan Marko Desantis (bass) bergabung dengan The Ataris. Perjalanan mereka belum mulus rupanya. Jasin Thomason memutuskan hengkang dari band, jadilah sisa tour di kerjakan dengan tiga personel plus additional player. Setelah tour selama tahun 1997 The Ataris harus puas dengan hasil kehabisan uang hingga harus tidur di van dan masing-masing personel cabut entah kemana, sementara mereka masih berhutang beberapa jadwal tour.Akhirnya Kris bersikeras dengan keadaan seperti itu, mereka harus bisa tampil - mungkin untuk terakhir kalinya. Mike Davenport (bass),Marco Peña(gitar), Chris "Kid" Knapp (drum) direkrut untuk mengganti kekososngan personil lainnya. Berempat mereka melanjutkan tour yang tersisa, meski ditengah jalan Pena digantikan oleh Patrick Riley. Tapi dewi fortuna masih berpihak kepada mereka, dari tekad yang kuat itu mereka mulai menuai hasil.Mereka berhasil membentuk massa di kalangan scene undergorund saat itu. EP “Look Forward to Failure” dirilis ke pasaran. Hingga kemudian tahun 1999 mereka melepas album mereka yang kedua Blue Skies, Broken Hearts...Next 12 Exits.Tidak lama berselang, tepatnya tahun 2001 album ketiga mereka kelar. “End is Forever” menjadi album yang terdengar lebih personal ketimbang album yang lain. Banyak masalah antar personel yang tertuang menjadi lagu didalam album tersebut. Entah karena sang frontman punya idealisme tinggi sehingga tidak nyambung dengan personel lainnya, di tahun 2002 line up mereka mengalami perubahan kembali. Kali ini John Collura masuk untuk menggantikan Pena yang sempat kembali setelah album ketiga mereka rilis. Tanda tangan kontrak dengan Columbia Records berhasil membuka jalan mereka menembus jalur mainstream tentu dengan album mereka So Long, Astoria, yang dirilis 4 Maret 2003. Ditahun yang sama, line up mereka kembali mengalami perubahan. Davenport cabut untuk lebih konsen di bandnya yang baru, Versus the World. Sementara Knapp memutuskan untuk berhenti di jalur musik.Tahun 2005 saat mereka memulai merekam Welcome The Night, mereka sudah ketambahan "amunisi" dengan jumlah yang lebih banyak dari sebelumnya. Ada nama John Collura, guitar/Pianos , Paul Carabello, guitar/backing vocals/percussion , Angus Cooke, cello , Bob Hoag, piano/keys/Fender Rhodes/Mellotron/percussion , Sean Hansen, bass , Shane Chickeles, drums. Akhirnya dengan formasi yang "keroyokan" itu mereka merilis album paling anyar mereka Februari 2007 lalu dengan titel "Welcome The Night". Kini mereka hadir kembali untuk membuktikan bahwa mereka masih eksis dan terus melakukan terobosan baru dalam dunia musik, tentu saja dengan idealisme musik sang frontman, Kristopher Roe, satu-satunya personil asli yang masih tersisa dari The Ataris. Read More..

Sigur Rós

Sigur Rós Mungkin banyak yang belum mengenal band yang terbentuk pada tahun 1994 ini. Dengan empat orang personelnya, jón þor (jónsi) birgisson (vocals, guitars), kjartan (kjarri) sveinsson (keyboards), orri páll dýrason (drums) and georg (goggi) holm (bass) mereka mengibarkan bendera Sigur Rós, nama yang dipilih untuk band asal Reykjavík, Iceland (Eropa) itu.

Nama sigur rós diambil dari bahasa Iceland-Islandia yang berarti "victory rose" (mawar kemenangan). Nama itu digunakan bersamaan dengan lahirnya adik jónsi yang diberi nama Sigurrós (tanpa spasi) dan nama itu juga merupakan nama yang umum dimiliki oleh para wanita di sana.

Mereka mendunia lewat karya yang unik tapi mengejutkan. "von" 1997, dilanjutkan dengan "von brigai (recycle bin)" 1998 membuat nama mereka menjadi rock star baru di jajaran musik dunia. Kemudian diperkuat oleh dilepasnya album "agaetis byrjun" 1999, "( )" pada 2002 dan yang terakhir adalah "Takk (Thanks...)" pada tahun 2005. Sigur Rós juga mengerjakan banyak 'sountrack' film seperti "Vanila Sky" (Tom Cruise-2001) dan serial TV CSI : Crime Scene Investigation. Selain itu, mereka juga memiliki beberapa 'single', yang terbaru adalah Sæglópur (2006).
Musik mereka yang unik, mengalun perlahan dan menonjolkan sisi yang lebih gelap. Les Paul Gitar yang dipadukan dengan penggesek Cello oleh jónsi memang memberikan warna musik khas bagi sigur rós, terasa lebih gelap dan penuh dengan 'reverb', membawa siapapun yang mendengarnya ke dalam landscape unik Iceland, seperti yang menjadi misi dalam setiap lirik dan musik mereka. Musik memang menjadi andalan mereka dalam menyampaikan pesan, karena bahasa yang digunakan memang bukan bahasa lazim grup besar,bahasa inggris, namun mereka menggunakan bahasa Iceland, Icelandic dan hopelandic (Vonlenska, nama daerah di Iceland). Justru itulah yang membuat mereka menjadi unik.Tanpa menambah daftar keunikan karya-karya mereka, namun fakta bahwa sang frontman, jónsi, adalah seorang gay (homo seksual) dan mempunyai kebutaan pada salah satu matanya, tidak dapat dikatakan biasa. Fakta yang lain basis mereka pernah menggunakan stick drum untuk membuat suara "aneh" pada ornamen bassnya, metode itu mereka gunakan untuk penggarapan album "von".* Read More..

Yelowcard


Nama Yellowcard mulai mendapatkan perhatian saat album Ocean Avenue (2003) dirilis. Tenggang waktu yang cukup lama sejak mereka terbentuk di Jacksonville, Florida tahun 1997. Meski sebelumnya mereka sudah merilis sedikitnya 4 album (termasuk Ep-mini album). Mereka yang menggawangi Yellowcard adalah Ryan Key (vocals, guitar), Sean Mackin (violin, vocals) Peter Mosely (bass, vocals) ,Longineu W. Parsons III (drums) Ryan Mendez (guitar, vocals). Meskipun memilih untuk memainkan modern rock sebagai musik mereka, namun tetap saja keunikan terpancar dari warna violin yang dimasukkan ke dalamnya. Hasilnya? musik musik yang kaya dan lebih asyik untuk dinikmati.

Album perdana mereka, "Midget Tossing" (1997), nama Sean Mackin, seorang violinist muncul sebagai bintang tamu. Hingga album mereka yang kedua "Where We Stand" (1999) dan EP pertama mereka "Still Standing EP"(2000) mereka masih menjadi band rock biasa. Bahkan hingga menandatangani kontrak dengan Lobster Records dan menghasilkan "One for the Kids"(2001) pamor mereka tidak bergeser dari posisi semula. Cikal bakal mereka ditaksir banyak orang adalah setelah dilepasnya "The Underdog EP" (2002) dibawah bendera Ramen Records. Namun aksi mereka dikenal secara nasional maupun internasional adalah semenjak Ocean Avenue (2003) dirilis. Single pertama "Way Away" memasukkan mereka kejajaran band pengusung modern rock yang banyak dicari dan direquest lagunya. OceanAvenue" yang menjadi single berikutnya, berhasil memecah kebekuan dan penantian mereka selama ini. Dimulai dengan menembus chart MTV TRL pada posisi teratas kemudian dilanjutkan dengan menembus posisi 37 pada Billboard Hot 100. sejak saat itulah, Yellowcard mulai dilihat orang dan diundang untuk main di sejumlah panggung, salah satunya pada Warp Tour 2004, juga tampil di sejumlah setasiun televisi. Penjualan album pun membengkak hingga lewat angka 2 juta copy hanya di USA. Meskipun demikian, popularitas tidak membuat mereka terburu-buru untuk melepas album berikutnya. Sebaliknya, mereka justru memilih untuk ikut dalam proyek soundtrack beberapa buah film. "Gifts And Curses" mereka buat untuk mengisi soundtrack Spiderman-2, "Don't You Forget About Me" juga dimainkan untuk mengisi musik pada film The Breakfast Club. Belum lagi keterlibatan mereka dalam beberapa album kompilasi seperti Rock Against Bush Vol. 2, dan sebagainya. Album terakhir mereka yang bertitel "Light And Sounds" (2006) kembali membawa nama Yellowcard ke jajaran puncak band pengusung modern rock. Minggu pertama sejak rilis, album tersebut bahkan mampu menembus angka penjualan 90.000 copy. Kabarnya untuk tahun ini mereka sudah masuk studio untuk memulai proses rekaman album selanjutnya.* Read More..

Funeral For A Friend


Bagi mereka yang sedang tergila-gila dengan musik jenis post-hardcore atawa yang berbau emo, nama band asal Inggris (UK) yang satu ini, Funeral For A Friend-FFAF, jelas bukan nama yang baru.

Funeral For A Friend lahir di tahun 2001. Nama tersebut mulai digunakan saat mereka merilis EP pertamanya, Between Order & Model (2002), setelah sebelumnya sempat menggunakan January Thirst sebagai nama mereka. Nama FFAF sebenarnya diambil dari salah satu lagu milik sebuah band, Planes Mistaken for Stars. Namun kabarnya ada juga yang menyebutkan bahwa nama itu diambil dari bait kedua sebuah puisi karya Linda Ellis yang berjudul "The Dash".

Mereka terdiri dari Matt Davies-lead vocals dan gitar, Gareth Davies-bass dan vocals, Kris Coombs Roberts-gitar, Ryan Richards-drums-vocals, dan Darran Smith-gitar. Setelah resmi menggunakan nama Funeral For A Friend, mereka pun kembali merilis EP kedua mereka, Four Ways to Scream Your Name (2003) yang di produseri oleh Colin Richardson. EP kedua mereka itu berhasil mencuatkan nama mereka berlima. Pertengahan 2003 Kerrang!! Award mengganjar mereka dengan penghargaan "Best UK Newcomer" yang mampu mengalahkan dominasi The Darkness-band yang sedang naik daun saat itu. Masih di tahun yang sama, album perdana FFAF-pun dilepas ke pasaran. Bertitel "Casually Dressed & Deep in Conversation," album tersebut siap tanding pada 20 Oktober 2003. Dibawah arahan Colin Richardson, album itu berhasil mencuri perhatian dengan single hit yang berhasil naik keposisi 20 besar di beberapa chart seperti "Juneau" (#19), "She Drove Me to Daytime Television" (#20), "Escape Artists Never Die" (#19). Band yang pernah menjadi headline di the Reading and Leeds Festivals itu cukup lama disibukkan dengan tour dan promosi album perdana mereka sehingga album keduanya dirilis dengan jarak yang cukup lama yakni sekitar dua tahun. Baru pada 14 Juni 2005 mereka kembali hadir dengan album kedua, “Hours.” Untuk albumnya yang kedua ini mereka di produseri oleh Terry Date dan direkam di dua studio kepunyaan Pearl Jam. Dan kabarnya sang vokalis, Matt Davies merekam suaranya diatas mobil di sepanjang WA street.Lagi-lagi mereka berhasil membuat Kerrang!! mengganjar mereka dengan penghargaan "Best British Band" pada bulan Agustus. Tahun 2005 dan tahun 2006 sepertinya menjadi tahun dimana nama mereka melambung. Bersama Atreyu, Saosin, Hawthorne Heights, dan Thrice mereka menggebrak di Warp Tour (2005) yang dilanjutkan dengan Reading and Leeds Festivals di panggung utama. Mereka juga berhasil menjadi headline bersama dengan Killswitch engage, Story Of The Year dan The Used pada Taste of Chaos tour (2006). Di akhir 2006 mereka memutuskan untuk memfokuskan diri pada pengerjaan album mereka yang berikutnya, meski ada beberapa tour yang tetap dijalani. Tahun 2007 ini, rencananya mereka akan melepas album ke tiga, Tales Don't Tell Themselves, pada bulan Mei. Meski tanggalnya belum pasti, namun informasi lainnya tentang album dan tour-tour yang digelar bisa dicek bocorannya di Myspace mereka. Prediksinya, album tersebut akan dipadati oleh kualitas sound asli dari Funeral For A Friend seperti yang telah mereka lakukan di album mereka yang pertama.* Read More..

Killswitch Engage


Band yang satu ini tentunya tidak asing lagi buat mereka yang mengusung hardcore, metal ataupun musik-musik keras lainnya, karena memang band yang menamakan dirinya Killswicth Engage (KSE) itu banyak dijadikan inspirasi. Sampai hari ini mereka telah menghasilkan 4 buah album, terakhir dirilis beberapa waktu lalu dengan tajuk "As Daylight Dies."

Band yang bermarkas di Westfield, Massachusetts itu mulai bermusik dengan prinsip untuk menjadi berbeda dari yang sudah ada. "When we started this band, we just wanted to play cool riffs and scream and sing. We liked many different sounds so we tried to incorporate all these rock and pop styles while keeping a good, solid metal mentality," itu kata dari sang gitaris Adam Dutkiewicz. Awal kesuksesan mereka dimulai pada tahun 1998, saat itu formasi awal dari KSE adalah sang bassis Mike D Antonio , vokal Jesse Leach serta Joel Stroetzel sebagai gitaris dan Adam Dutkiewicz sendiri. Embrio awal ini menghasilkan sebuah album undeground (di Indonesia dikenal sebagai Indie) dibawah bendera Ferret Music. Kemudian mereka dilirik oleh Roadrunner Records dan akhirnya memutuskan untuk bergabung. Dibawah benderanya, mereka membuahkan sebuah full album yang mengantarkan pada sebuah kesuksesan besar. Alive or Just Breathing (2002) mampu menembus angka 37 pada Billboard's Heatseeker Chart dan memenangkan sebuah pernghargaan dari CMJ New Music Report and Alternative Press ( sebuah penghargaan pers terhadap insan musik ). Ditengah kesuksesan, Jesse Leach cabut yang kemudian digantikan oleh Howard Jones dan ditambah masuknya Justin Foley pada drum. Masuknya dua orang itu ternyata membawa dampak besar bagi perkembangan musik KSE yang kemudian melahirkan debut album mereka yang ketiga, The End Of Heartache (2004), yang lagi-lagi berhasil menembus angka 21 di chart yang sama. Di-album yang ketiga tersebut mereka meramu banyak hal, dari olah vokal yang matang hingga memasukkan unsur-unsur jazz pada isian gitar. Itu kembali membawa mereka masuk dalam ajang Grammy Award meski hanya sebagai nominator. " It's kind of like finally getting your diploma - or I guess in our case, almost getting your diploma." sahut Dutkiewicz. Tidak hanya sukses dengan album, perjalanan panggungnya juga semakin membuat mereka diperhatikan banyak pihak. Menjadi pembuka pada tour Slayer pada tahun 2004 mampu eletakkan mereka menjadi headline pada Ozzfest tahun berikutnya. Pada tahun yang sama, mereka didaulat untuk manggung bersama My Chemical Romance dan The Used pada Taste of Chaos Tour. Sementara Jimmy Kimmel Live and Last Call with Carson Daly adalah acara TV perdana dimana mereka tampil dan berhasil mencuatkan single "The End of Heartache" dan "Rose of Sharyn". Dengan banyaknya kesuksesan yang diraih mereka telah membuat banyak band terinspirasi bukan hanya dari segi musik tapi segala hal tentang KSE. Yang perlu diketahui juga selain mahir bermusik, beberapa personel mereka juga mempunyai pekerjaan sampingan yang juga berpengaruh dalam perkembangan musik mereka. Sang bassist D Antonio adalah seorang designer grafis yang turut membuat logo dari KSE dan juga band-band lain seperti All That Remains, Shadows Fall, Chimaira, Cannibal Corpse. Sang voklais Howard juga memproduseri beberapa band baru yang memainkan musik sejenis dengan mereka seperti 12 Tribes, Bury Your Dead dan August Burns Red. Dutkiewicz's juga memproduseri beberapa album dari band seperti Underoath dan Every Time I Die. Yang menarik menurut Dutkiewicz's dari semua hal itu adalah dia menadapatkan semua inspirasi musiknya dari menggarap album-album orang lain. "Personally, I get inspired by a lot of the bands I work with, and they get inspired by me barking orders at them." Dia juga menambahkan bahwa dia bisa terinfluence dari banyak hal bahkan bunyi mobil rusakpun bisa menginspirasi dia, asal dengan ryhtm yang benar-benar sakit. Album mereka yang terakhir As Daylight Die (2006) membuktikan kualitas musik mereka. 11 lagu yang di dalamnya adalah sebuah perpaduan dari idealisme, melody, rock serta metal yang membuahkan sebuah musik yang garang.* Read More..

deftones


Kalau kalian mengenal Deftones sebagai band yang garang mempermainkan setiap irisan gitarnya atau setiap ketukan drumnya yang selalu dipadu dengan unsur poop manis namun tetap terdengar cadas maka album ini mewakili apa yang kalian pikirkan.

“Saturday Night Wrist” merupakan album yang berbeda dari Adrenaline (1995) atau White Pony (2000), mungkin juga Self Titeld (2003). Yang kita bicarakan adalah Deftones yang mampu membuat setiap albumnya berbeda dan tidak bergantung.

Track pertama kalian akan disuguhi oleh "Hole In The Earth", tembang pembuka yang sangat radio friendly atau mungkin sangat nge-pop?? yang jelas mereka cara bernyanyi mengalun dengan sentuhan musik cadas yang membuat komposisi mereka masih terdengar garang.

Jangan salah menilai, karena "Rapture" akan mencuci telinga kita dengan gempuran aliran musik kencang tanpa jeda. Ini gempuran musik Deftones yang melaju tanpa berhenti. Di track ini kalian mengerti bagaimana berteriak yang bagus menurut Deftones ha ha,meski sedikit juga di isi oleh alunan vokalnya di beberapa bagian namun tetap saja ini track yang harus didengar saat kita berada di jalur balapan mobil.

Mulai dari sini merupakan track penghantar kalian untuk masuk ke jurang tanpa dasar alias inilah sederetan track dengan tingkat kegelapan dan kegelisahan tinggi khas Deftones. Anggaplah kalian sedang berjalan di tengah kesepian karena kalian sedang sedih dan tiba-tiba kalian dikejutkan oleh badai hati yang membuat semua ketenangan menjadi berantakan, itulah "Beware". "Cherry Waves" adalah kelanjutan badai dimana seolah diajak bersiap meloncat ke jurang itu.

Namun "Mein"akan membawa keraguan, karena musik yang melaju hingga membuat ingin berfikir ulang dan harus mengambil keputusan dengan cepat. "U,U,D,D,L,R,L,R,A,B,Select,Start" lagu dengan judul yang mirip sebuah cheat game, adalah track instrument yang kental dengan kegelapan dan kegelisahan. Nampaknya mereka ingin mengajak merenung lebih dalam. Di 4 track tersebut yang menonjol adalah isian bass Chi Cheng serta efek suara "gelap" hasil sentuhan DJ Frank Delgado itulah yang membuat kalian terdampar dalam kegelisahan.

Di track selanjutnya akan dihadapkan pada satu nomor yang masih bernuansa pop,lagi?? Jangan salah dulu ini pop Deftones bukan pop “Raja!” "Xerces" masih bermain diarea gelisah untuk album ini, Vokal Chino terasa sedih diawal lagu dan meninggi di tengah atau bagian reffnya. Sentuhan distorsi kasar gitar membuat lagu ini berkarakter kuat sebagai salah satu lagu dengan campuran manis dan kasar.

Strategi yang sama diberlakukan untuk track selanjutnya. Agar yang terlanjur tetidur menikmati "Xerces" maka "Rats!Rats!Rats!" dipilih untuk mengisi track selanjutnya. Hasilnya kalian akan dipaksa berhead banging kembali dengan mata sayu karena kantuk. "Pink Cellphone" mungkin track paling unik disini, DJ Frank yang bermain lebih disini, yang lain hanya menikmati karena track ini akan terdengar seperti lagu hip-hop tapi lagi-lagi ini Deftones!!*

Secara utuh album ini memang mempermainkan emosi kalian, karena banyak kejutan yang datang dari eksplorasi Deftones tentang kegelisahan dan kegelapan serta unsur-unsur musik yang lebih ter-eksplorasi disini. Begitu juga dengan "Combat" hingga "Riviere" yang menjadi track penutup. Kematangan sesuai umur atau sesuai dengan berat badan?? yang pasti mereka telah membuat setiap album mereka menjadi pilihan setiap orang.

Read More..

”Evanescence”


Grup rock yang mengawali debutnya dengan dua lagu (”Bring Me To Life” dan ”My Immortal”) di album OST Daredevil itu bermuasal dari kisah pertemuan antara Amy dan Ben dalam acara gabungan sekolah menengah di suatu musim panas. Saat itu Ben demikian terkesan dengan cara nyanyi Amy melagukan nomor Meat Loaf, ”I’d Do Anything For Love”.
Selesai penampilannya itu, langsung Ben mengajak Amy bergabung bersamanya dalam sebuah band. Kesepakatan antara keduanya segera berlangsung cepat, termasuk kesamaan visi pandang dalam mencipta lagu, yang dipengaruhi referensi Bjork, Tori Amos, Danny Elfman dan Kate Bush.
Meski sejak awal mereka cuma berdua, dan tak pernah membawa band lengkap di setiap performanya, Evanescence tetap memperoleh popularitas dengan rilis singel bernuansa gothic, yakni ”Understanding”. Lagu tersebut adalah salah satu lagu yang ditulis bareng Amy dan Ben. ”Understanding” memang tidak termuat dalam debut album perdana Fallen yang dirilis Sony Music baru-baru ini, tapi berhasil mempengaruhi selera massa dan sering diputar di stasiun radio lokal.
Begitulah sebagian cerita lama yang tak disangka-sangka merupakan tonggak awal dari Evanescence mencatat sejarah baru dalam musik rock progresif. Hingga kini, Evanescence (yang bermakna ”a dissipation or disappearance like vapor” = sirna atau cepat menghilang bagai uap) tetap berdua dengan tambahan musisi pendukung John LeCompt (gitar) dan dramer Rocky Gray untuk menghias berbagai performa mereka.
Bahkan untuk Fallen, Evanescence mengundang vokalis Paul McCoy (12 Stones) untuk berkolaborasi di lagu ”Bring Me To Life” (yang juga jadi salah satu lagu OST Daredevil). Mereka juga memboyong keikutsertaan Millenium Choir, Los Angeles untuk lagu Everybody’s Fool, Haunted, Imaginary dan Whisper. Selain itu ada bantuan dari dari pemusik Davis Hodges (piano dan kobor), Francesco DiCosmo (bas) dan dramer Josh Freese.
Penambahan-penambahan itu terlihat sebagai upaya terbaru Evanescence dalam memadukan ekspresi dua gitar dan dram, yang disempurnakan dengan bas dan perkalian layer kibor. Ini bisa disimak dari singel perdana Bring Me To Life. Sebuah lagu yang terbilang indah dengan warna rock ramah dan latar belakang musik balada pada instrumen piano.

Sesuatu yang Baru
Amy Lee memastikan Evanescence adalah band rock. ”Bercampur di dalamnya nuansa bertema epik, dramatis dan rock kelam,” sambungnya.
Reputasi dan nasib baik menjadi miliknya band asal Arkansas, yang langsung merasuki belantara rock Amerika. Lagu ”Bring Me To Life” adalah lagu balada piano yang berkisah tentang seseorang atau unsur yang terinspirasi ketika menemukan sesuatu yang baru. Di dalamnya muncul suatu yang baru, sebuah penawaran kenyataan dalam dunia yang lebih besar dari yang pernah Anda duga,” jelas Ben.
Melalui liriknya, Evanescence menggali kegelapan, mengintrospeksi cinta dan keputus-asaan. Bila diartikan secara maksimal, bisa terlihat sisi positif dari Evanescence.
”Intinya, lewat album Fallen kami ingin berbagi rasa dengan sesama mereka yang merasa terkucil atau sesak. Agar mereka tidak sendirian dalam menghadapi kepahitan hidup. Itulah kehidupan, dan itulah kemanusiaan. Kita tidak pernah sendirian, dan semua orang menjalani proses seperti itu,” pandang Amy serius.
”Semuanya tercipta dari kejujuran kami. Sekarang ini banyak musik ditampilkan dengan isi yang penuh kemarahan para remaja, dan itu bukan kami. Kami tidak berusaha menjual suatu opini. Kami hanya ingin menulis sesuatu dari hati kami,” komentar Ben lebih jauh.
Mereka membantah kalau lirik ciptaannya dihubungkan dengan misi Kristiani dengan makna atau pesan religius yang tersamar. ”Musik kami tak berhubungan dengan persoalan agama,” lanjut Ben.
Musik kami sekadar pengalaman hidup, tambahnya. ”Saya menjamin, bila pemilik toko buku Kristen mendengarkan beberapa lagu kami, mereka takkan mau menjual CD kami,” jawab Ben, mengenai kontroversi penjualan CD Fallen di toko-toko musik Kristen.
Hasil wawancara Evanescence dengan Entertainment Weekly yang termuat 18 April lalu, sempat menghebohkan dunia musik Kristen. Segalanya terjadi karena salah mengartikan makna lirik lagu ”Bring Me To Life”, yang kebetulan mendapat tempat terhormat di stasiun radio Kristen. Itulah yang lalu membuat Fallen didistribusikan ke toko-toko musik Kristen, namun ditarik kembali saat kemudian band tersebut berkomentar ihwal Evanescence yang sekular, dan memandang musik mereka sebagai bagian entertainment.
Read More..

Monday, November 12, 2007

slipknot


Slipknot atau biasa ditulis SlipKnoT adalah sebuah grup band beraliran Alternative Metal dan Heavy Metal, asal Amerika Serikat. Grup ini berdiri di Des Moines, Iowa pada 1995 dengan sembilan orang pendiri dari kota yang sama.

Sebelum menjadi Slipknot semula mereka menggunakana nama The Pale Ones kemudian Pyg System dan Meld. Hingga akhirnya menggunakan nama Slipknot. Dalam perjalanannya mereka beberapa kali mengalami perubahan personel, dan formasi terakhir terdiri atas Sid Wilson, Nathan 'Joey' Jordison, Paul Gray, Chris Fehn, James Root, Craig '133' Jones, Shawn 'Clown' Crahan, Mick Thomson dan Corey Taylor.

Album-album Slipknot di antaranya Mate. Feed. Kill. Repeat (1996), Roadrunner Records Demo (1998), Slipknot (1999), Iowa (2001), Vol. 3 (The Subliminal Verses, 2004) dan 4th Studio Album (2008). Lewat album-album tersebut mereka berhasil meraih Grammy Award Nominations untuk Best Metal Performance dan Best Hard Rock Performance.

Lewat single Left Behind dari album Iowa (2001), berhasil masuk nominasi Grammy pada 2002. Dan pada 2006, Slipknot berhasil meraih Best Metal Performance lewat lagu Before I Forget.
Read More..

after forever


Selain Nightwish yang diusung aransemen kibordis Tuomas Holopainen dan soprano Tarja Turunen, band lain yang cukup terkenal adalah After Forever dari Belanda yang dimotori Mark Jansen dan soprano Floor Jansen. After Forever dan Nightwish seolah bersaing di kancah Symphonic Metal. Sulit untuk mengatakan mana yang lebih bagus.

Di saat yang sama, juga dari Belanda, Within Temptation menambah khazanah genre ini. Dimotori oleh gitaris Robert Westerholt dan soprano Sharon den Adel. Dibandingkan dengan After Forver dan Nightwish, Within Temptation tidak mengusung unsur power/speed.

Tahun 2002, Mark Jansen keluar dari After Forever karena perbedaan visi musiknya. Di tahun berikutnya Mark Jansen bersama mezzo-soprano Simone Simons –yang masih berusia 18 tahun– menelurkan album The Phantom Agony dalam usungan grup band baru bernama Epica, yang diilhami oleh album Epica karya Kamelot.

Read More..

nightwish


Di tahun 1997-an satu grup band dari Finlandia muncul ke panggung musik Eropa, mengusung musik Metal yang simfonik, namun tidak sekeras/secepat Rhapsody of Fire atau Stratovarius. Adalah grup band Nightwish yang dianggap menjadi pelopor genre Symphonic Metal. Musik Metal yang sarat dengan nuansa simfonik (instrumen senar/string seperti biola/piano dan instrumen angin/wind seperti flute) serta vokal wanita yang sopran atau mezzo-sopran. Kadang-kadang dibumbui dengan vokal grunt/death, vokal serak yang suwer tidak jelas seperti vokal band Kreator di era Thrash Metal dulu. Sering disebut sebagai musik Beauty and The Beast, kecantikan vokal sopran wanita dipadu dengan vokal liar laki-laki.

Band-band genre Metal juga ikut terpengaruh unsur simfonik ini, biasanya membuat rekaman/konser dengan paduan orchestra, seperti Metallica dan Scorpions yang merilis album orkestra di tahun 2000-an. Namun rasanya kurang luar biasa jika dibandingkan dengan grup band Rock yang sudah dari dulu berkolaborasi dengan London Philharmonic Orchestra.

Genre Symphonic Metal ini sering juga disebut Gothic Metal pada awal perkembangannya. Namun unsur gothic pada lagu atau melodi, yang saya tahu mungkin hanya faktor visual dan ruang seperti halnya pada Arsitektur Gothic di era kebangkitan kembali atau Renaissance. Suasana yang kelam, ruang yang menjulang, struktur flying butress, kastil yang menjulang, pintu besar yang melengkung lancip, fashion dan make-up pucat bergaris mata hitam, korset, gaun putih atau hitam, lipstik hitam seperti Lord Dracula, legenda vampire dan sebagainya. Jejak-jejak arsitektur era Gothic memang bertebaran di wilayah Eropa, dari timur Hungaria hingga barat Spanyol. Mungkin yang saya ingat hanya Antoni Gaudi, tapi karyanya bukanlah gothic, melainkan art nouveau.

Read More..

Friday, November 9, 2007

Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh
meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini. Read More..

bali Scene

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di
Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia
Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang
berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu
alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes
dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini. Read More..

malang scene

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community(T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap
saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal),Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial
death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang
bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang
diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records Read More..

Surabaya Scene

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI - Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP - Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside
yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.

Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label
INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa. Read More..

Bandung scene

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan
membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!

Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga
Mesin Jahat. Read More..

Zaman Klasik (Musik)

Zaman Klasik atau Periode Klasik dalam sejarah musik Barat berlangsung selama sebagian besar abad ke-18 sampai dengan awal abad ke-19. Walaupun istilah musik klasik biasanya digunakan untuk menyebut semua jenis musik dalam tradisi ini, istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut musik dari zaman tertentu ini dalam tradisi tersebut. Zaman ini biasanya diberi batas antara tahun 1750 dan 1820, namun dengan batasan tersebut terdapat tumpang tindih dengan zaman sebelum dan sesudahnya, sama seperti pada semua batasan zaman musik yang lain.

Zaman klasik berada di antara Zaman Barok dan Zaman Romantik. Beberapa komponis zaman klasik adalah Joseph Haydn, Muzio Clementi, Johann Ladislaus Dussek, Andrea Luchesi, Antonio Salieri dan Carl Philipp Emanuel Bach, walaupun mungkin komponis yang paling terkenal dari zaman ini adalah Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven.

Read More..